cover
Contact Name
Rizky Abdulah
Contact Email
r.abdulah@unpad.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
editorial@ijcp.or.id
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia
ISSN : 23375701     EISSN : 2337 5701     DOI : -
Core Subject :
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy (IJCP) is a scientific publication on all aspect of clinical pharmacy. It published 4 times a year by Clinical Pharmacy Master Program Universitas Padjadjaran to provide a forum for clinicians, pharmacists, and other healthcare professionals to share best practice, encouraging networking and a more collaborative approach in patient care. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy is intended to feature quality research articles in clinical pharmacy to become scientific guide in fields related to clinical pharmacy. It is a peer-reviewed journal and publishes original research articles, review articles, case reports, commentaries, and brief research communications on all aspects of Clinical Pharmacy. It is also a media for publicizing meetings and news relating to advances in Clinical Pharmacy in the regions.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 2 (2012)" : 10 Documents clear
An Urinary Excretion Profile of 500 mg Ascorbic Acid in Healthy Adults Mutakin, Mutakin
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (563.069 KB)

Abstract

High doses of ascorbic acid have been commercially available as adjuvant. However, the pharmacologicalimportance of this supplement is yet questionable. The aim of this study is to investigate the 24 hours excretion profile of ascorbic acid after oral administration of 500 mg single dose in healthy volunteer. The urine samples were collected at 2, 4, 6, 8, and 24 hours after administration. The samples were extracted with trichloroacetic acid, followed by colorimetric measurement. The excretion profile showed a curve with concentrations of 14.4, 15.2, 15.6, 14.9, and 14.2% at 2, 4, 6, 8, and 24 hours, respectively. This suggests that 74.3% of ascorbic acid to be excreted via urine as an excessive amount and a high adjuvant dosage should be reconsidered.Key words: Ascorbic acid, oral administration, single dose, excretion profileProfil Ekskresi 500 mg Asam Askorbat dalam Saluran Urin pada Orang Dewasa SehatAbstrakAsam askorbat dosis tinggi telah tersedia secara komersil sebagai suplemen. Akan tetapi, kegunaan secara farmakologi pada suplemen ini masih dipertanyakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil ekskresi asam askorbat selama 24 jam setelah pemberian oral 500 mg dosis tunggal pada sukarelawan sehat. Sampel urin dikumpulkan pada jam ke-2, 4, 6, 8, dan 24 setelah pemberian. Sampel diekstraksi dengan asam trikloroasetat lalu diukur dengan metode kolorimetri. Profil ekskresi menunjukkan bahwa terbentuk kurva pada konsentrasi secara berurutan 14,4; 15,2; 15,6; 14.9; dan 14,2% pada jam ke-2, 3, 6, 8 dan 24. Hal ini menunjukkan bahwa 74,3% asam askorbat diekskresikan melalui urin dalam jumlah besar dan pemakaian dosis tinggi suplemen seharusnya dipertimbangkan.Kata kunci: Asam askorbat, pemberian oral, dosis tunggal, profil ekskresi
Ocular Insert: Dosage Form for Sustain Opthalmic Drug Delivery Thakral, Sunil Kumar; Nagori, Badri P.; Issarani, Roshan; Ahuja, Munish
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1167.891 KB)

Abstract

Except for skin, the eye is the most easily accessible site for topical administration of a medication. Traditional topical ophthalmic formulations (eye drops and ointments) have poor bioavailability because of rapid pre-corneal elimination, conjunctival absorption, solution drainage by gravity, induced lacrimation and normal tear turnover. This leads to frequent  installations of concentrated medication to achieve a therapeutic effect. The typical “pulse-entry” type drug release observed with ocular aqueous solutions (eye drops), suspensions and ointments can be replaced by more controlled, sustained, and continuous drug delivery, using a controlled-release ocular drug delivery system. Ocular inserts are solid or semisolid sterile preparations, of appropriate size and shape, designed to be inserted behind the eyelid or held on the eye and to deliver drugs for topical or systemic  effect. These are polymeric systems into which the drug is incorporated as a solution or dispersion. They are better tolerated as to drainage and tear flow compared with other ophthalmic formulation and produce reliable drug release in the conjunctival cul-de-sac.Key words: Eye, ocular inserts, films simulated tear fluid, cul-de-sac Penyisipan Okular: Sediaan untuk Penghantaran Obat Mata DiperlambatAbstrakMata adalah organ yang paling mudah dijangkau untuk pengobatan topikal selain kulit. Formulasi sediaan topikal tradisional untuk mata (tetes mata dan salep) memiliki ketersediaan hayati yang rendah karena cepat dieliminasi sebelum mencapai kornea, absorpsi konjungtiva, kekeringan cairan mata karena gravitasi, lakrimasi terinduksi, dan pergantian normal air mata. Hal ini mengarahkan pada penggunaan obat yang pekat secara berulang untuk menghasilkan efek terapi. Tipe obat pulse-entry seperti tetes mata, suspensi, dan salep dapat digantikan dengan penghantaran obat yang lebih terkontrol, diperlambat, dan berkelanjutan menggunakan sistem penghantaran obat okular yang pengeluarannya dikontrol. Sediaan penyisipan okular merupakan sediaan steril berbentuk solid dan semisolid, dengan ukuran dan bentuk yang sesuai, serta didesain untuk dapat disisipkan di belakang kelopak mata atau diletakkan di atas mata untuk menghantarkan efek obat secara topikal atau sistemik. Sediaan ini  merupakan sistem polimer yang tidak larut atau terdispersi. Sediaan ini lebih baik dalam hal pengeringan dan aliran air mata dibandingkan formulasi sediaan mata yang lain dan menghasilkan pengeluaran obat yang reliabel pada konjungtiva kuldesak.Kata kunci: Mata, penyisipan okular, simulasi cairan air mata film, kuldesak
Peran Farmasis Klinis pada Pasien Gagal Ginjal Tahap Akhir dengan Hemodialisis Rahmatullah, Daril; Widyati, Widyati
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (611.444 KB)

Abstract

Pasien gagal ginjal tahap akhir dengan hemodialisis merupakan populasi pasien dengan kondisi multipatologis dan multiterapi yang laju morbiditas serta mortalitasnya terus meningkat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran farmasis klinis pada manajemen perkembangan penyakit gagal ginjal tahap akhir yang menggunakan terapi hemodialisis di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kajian sistematis melalui penelusuran database penelitian. Penelitian yang terlibat terdiri atas 2 penelitian dengan metodologi ekperimental dan 8 metodologi deskriptif. Jenis peran farmasis klinis yang dilakukan adalah review catatan terapi (90%), evaluasi terapi (70%) dan implementasi terapi (20%). Penelitian yang ada telah memberikan gambaran mengenai peran farmasis klinis pada populasi pasien gagal ginjal dengan hemodialisis. Gambaran tersebut masih terbatas pada aktivitas pengkajian atau assessment. Hal ini karena penelitian yang berfokus pada peran farmasis klinis secara umum di Indonesia juga terbatas jumlahnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran farmasis klinis di Indonesia belum dapat dinilai kebermaknaannya.Kata kunci: Hemodialisis, gagal ginjal, farmasis klinis Clinical Pharmacist Roles On End-Stage Renal Disease Patient with HemodialysisAbstractEnd-stage renal disease with hemodialysis are considered as a multipathology and multitherapy patients which has an increase of morbidity and mortality rate. This research aim was to understand the roles of Indonesia clinical pharmacist, regarding to the subject with hemodialysis therapy. This study was a systematic review through research databases. The clinical pharmacist roles or activities ,which have beendone, were medical record review (9/10), therapeutic evaluation (7/10) and therapeutic implementation(2/10). All the studies have viewed clinical pharmacist activities on hemodialysis patient. Nonetheless the activities were only on assessment step which was actually an initial step. Limitation on quantity of this focused study on clinical pharmacist activitis on hemodialysis in Indonesia has been another constraint. The included studies have given an even more partial view due to lack of documentation on how the finding in the included research was being  assessed then followed as pharmacist care plan by the clinical pharmacist. The result of this study showed that clinical pharmacist role in Indonesia has not been yet defined its significance.Key words: Hemodialysis, renal failure, clinical pharmacist
Dampak Self Efficacy terhadap Perilaku Inovasi Apoteker di Rumah Sakit Wahyuningrum, Sri M.; Widianto, Sunu; Abdulah, Rizky
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (614.664 KB)

Abstract

Rumah sakit selalu dituntut agar dapat meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan standar profesi yang sesuai dengan kode etiknya. Oleh karena itu, tenaga kesehatan di rumah sakit, khususnya apoteker, dituntut untuk terus meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka apoteker harus berinteraksi dan diterima oleh tenaga kesehatan professional lainnya di rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh self efficacy apoteker terhadap organisasinya di rumah sakit yang menjadi dampak terhadap perilaku inovasi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yaitu observasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat ukur. Hasil penelitian diukur menggunakan angka berupa nilai, peringkat, dan frekuensi yang dianalisis dengan menggunakan statistik untuk menjawab pertanyaan atau hipotesis penelitian dalam melakukan prediksi bahwa suatu variabel tertentu mempengaruhi variabel yang lain. Prediksi ini dilakukan dengan menggunakan software smart PLS. Hasil penelitian secara statistik menunjukan adanya pengaruh yang signifikan antara self efficacy terhadap perilaku inovasi apoteker di rumah sakit. Seorang apoteker yang memiliki self efficacy yang tinggi akan memiliki perilaku inovasi yang tinggi dalam menjalankan pekerjaan kefarmasiannya di rumah sakit.Kata kunci: Self efficacy, perilaku inovasi, apoteker di rumah sakitImpact of Self Efficacy on Innovative Behaviour Pharmacist in HospitalAbstractHospitals are always required in order to improve the quality of service in accordance with professionalstandards in accordance with their code of ethics. Therefore, health workers in hospitals, especiallypharmacists, are required to continuously improve its service to the community. To improve health servicesto the community, then the pharmacist must interact and be accepted by other professional healthpersonnel in hospitals. The purpose of this study was to determine the effect of self-efficacy pharmacistin a hospital organization that became an impact on innovative behavior. This study used an obsevationalquantitative measurement using questionnaire instrument. The results measured by number consistof value, rank, and frequencies were analyzed using statistics software smartPLS to answer the researchquestion or hypothesis to predict a particular variable affects another variable. The results showed thateffect between self-efficacy of behavioral innovations in the hospital pharmacist significantly different.A pharmacist who has high self-efficacy will obviously have the higher innovation behavior in hospitals.Key words: Self-efficacy, innovative behavior, hospital pharmacist
Penggunaan Obat Penginduksi Kerusakan Hati pada Pasien Rawat Inap Penyakit Hati Cinthya, Sindy E.; Pradipta, Ivan S.; Abdulah, Rizky
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (584.105 KB)

Abstract

Kerusakan hati yang disebabkan oleh obat merupakan masalah kesehatan manusia yang serius. Penggunaan obat penginduksi kerusakan hati pada pasien penyakit hati dapat meningkatkan risiko kerusakan hati. Penelitian observasional ini dilakukan untuk mengetahui profil penggunaan obat-obat yang dapat menginduksi kerusakan hati pada pasien rawat inap penderita penyakit hati di salah satu rumah sakitdi Kota Tasikmalaya. Data dikumpulkan secara retrospektif pada periode 2010–2011 dari rekam medis pasien. Total dari 52 subjek penelitian diketahui sebanyak 50 pasien (96%) menggunakan obat penginduksi kerusakan hati dan sebanyak 2 pasien (4%) tidak menggunakannya. Obat penginduksi yang paling banyak digunakan yaitu Ranitidin (31,3%), seftriakson (23,1%), dan parasetamol (16,4%). Tingkat penggunaan obat penginduksi kerusakan hati pada pasien penderita penyakit hati masih tergolong tinggi yaitu sebesar 96%. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh penggunaan obat penginduksi kerusakan hati terhadap fungsi hati.Kata kunci: Obat penginduksi kerusakan hati, penyakit hati, retrospektifAdministration of Drug Induce Liver Injury to the Inpatients with Liver DiseaseAbstractDrug induced liver injury is a serious human health problems. Pre-existing liver diseases are risk factorof liver injury by the drugs. The study was conducted to evaluate the use of drug induced liver injury in patients hospitalized with liver disease at one hospital in Kota Tasikmalaya. Informations were collected retrospectively in the period 2010-2011 from the patient’s medical record. A total of 52 patients research subjects were discovered 50 patients (96%) using drug induced liver injury and 2 patients (4%) did not use it. Drug induced liver injury most widely used were ranitidine (31.3%), ceftriaxone (23.1%), and paracetamol (16.4%). Level of the DILI usage in patient with liver disease was relative high (96%). Further research is needed to determine the effect of the drug induced liver injury to liver injury.Key words: Drug induced liver injury, liver disease, retrospective
Peran Farmasis Klinis pada Pasien Gagal Ginjal Tahap Akhir dengan Hemodialisis Daril Rahmatullah; Widyati Widyati
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (611.444 KB)

Abstract

Pasien gagal ginjal tahap akhir dengan hemodialisis merupakan populasi pasien dengan kondisi multipatologis dan multiterapi yang laju morbiditas serta mortalitasnya terus meningkat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran farmasis klinis pada manajemen perkembangan penyakit gagal ginjal tahap akhir yang menggunakan terapi hemodialisis di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kajian sistematis melalui penelusuran database penelitian. Penelitian yang terlibat terdiri atas 2 penelitian dengan metodologi ekperimental dan 8 metodologi deskriptif. Jenis peran farmasis klinis yang dilakukan adalah review catatan terapi (90%), evaluasi terapi (70%) dan implementasi terapi (20%). Penelitian yang ada telah memberikan gambaran mengenai peran farmasis klinis pada populasi pasien gagal ginjal dengan hemodialisis. Gambaran tersebut masih terbatas pada aktivitas pengkajian atau assessment. Hal ini karena penelitian yang berfokus pada peran farmasis klinis secara umum di Indonesia juga terbatas jumlahnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran farmasis klinis di Indonesia belum dapat dinilai kebermaknaannya.Kata kunci: Hemodialisis, gagal ginjal, farmasis klinis Clinical Pharmacist Roles On End-Stage Renal Disease Patient with HemodialysisAbstractEnd-stage renal disease with hemodialysis are considered as a multipathology and multitherapy patients which has an increase of morbidity and mortality rate. This research aim was to understand the roles of Indonesia clinical pharmacist, regarding to the subject with hemodialysis therapy. This study was a systematic review through research databases. The clinical pharmacist roles or activities ,which have beendone, were medical record review (9/10), therapeutic evaluation (7/10) and therapeutic implementation(2/10). All the studies have viewed clinical pharmacist activities on hemodialysis patient. Nonetheless the activities were only on assessment step which was actually an initial step. Limitation on quantity of this focused study on clinical pharmacist activitis on hemodialysis in Indonesia has been another constraint. The included studies have given an even more partial view due to lack of documentation on how the finding in the included research was being  assessed then followed as pharmacist care plan by the clinical pharmacist. The result of this study showed that clinical pharmacist role in Indonesia has not been yet defined its significance.Key words: Hemodialysis, renal failure, clinical pharmacist
Dampak Self Efficacy terhadap Perilaku Inovasi Apoteker di Rumah Sakit Sri M. Wahyuningrum; Sunu Widianto; Rizky Abdulah
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (614.664 KB)

Abstract

Rumah sakit selalu dituntut agar dapat meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan standar profesi yang sesuai dengan kode etiknya. Oleh karena itu, tenaga kesehatan di rumah sakit, khususnya apoteker, dituntut untuk terus meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka apoteker harus berinteraksi dan diterima oleh tenaga kesehatan professional lainnya di rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh self efficacy apoteker terhadap organisasinya di rumah sakit yang menjadi dampak terhadap perilaku inovasi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yaitu observasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat ukur. Hasil penelitian diukur menggunakan angka berupa nilai, peringkat, dan frekuensi yang dianalisis dengan menggunakan statistik untuk menjawab pertanyaan atau hipotesis penelitian dalam melakukan prediksi bahwa suatu variabel tertentu mempengaruhi variabel yang lain. Prediksi ini dilakukan dengan menggunakan software smart PLS. Hasil penelitian secara statistik menunjukan adanya pengaruh yang signifikan antara self efficacy terhadap perilaku inovasi apoteker di rumah sakit. Seorang apoteker yang memiliki self efficacy yang tinggi akan memiliki perilaku inovasi yang tinggi dalam menjalankan pekerjaan kefarmasiannya di rumah sakit.Kata kunci: Self efficacy, perilaku inovasi, apoteker di rumah sakitImpact of Self Efficacy on Innovative Behaviour Pharmacist in HospitalAbstractHospitals are always required in order to improve the quality of service in accordance with professionalstandards in accordance with their code of ethics. Therefore, health workers in hospitals, especiallypharmacists, are required to continuously improve its service to the community. To improve health servicesto the community, then the pharmacist must interact and be accepted by other professional healthpersonnel in hospitals. The purpose of this study was to determine the effect of self-efficacy pharmacistin a hospital organization that became an impact on innovative behavior. This study used an obsevationalquantitative measurement using questionnaire instrument. The results measured by number consistof value, rank, and frequencies were analyzed using statistics software smartPLS to answer the researchquestion or hypothesis to predict a particular variable affects another variable. The results showed thateffect between self-efficacy of behavioral innovations in the hospital pharmacist significantly different.A pharmacist who has high self-efficacy will obviously have the higher innovation behavior in hospitals.Key words: Self-efficacy, innovative behavior, hospital pharmacist
Penggunaan Obat Penginduksi Kerusakan Hati pada Pasien Rawat Inap Penyakit Hati Sindy E. Cinthya; Ivan S. Pradipta; Rizky Abdulah
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (584.105 KB)

Abstract

Kerusakan hati yang disebabkan oleh obat merupakan masalah kesehatan manusia yang serius. Penggunaan obat penginduksi kerusakan hati pada pasien penyakit hati dapat meningkatkan risiko kerusakan hati. Penelitian observasional ini dilakukan untuk mengetahui profil penggunaan obat-obat yang dapat menginduksi kerusakan hati pada pasien rawat inap penderita penyakit hati di salah satu rumah sakitdi Kota Tasikmalaya. Data dikumpulkan secara retrospektif pada periode 2010–2011 dari rekam medis pasien. Total dari 52 subjek penelitian diketahui sebanyak 50 pasien (96%) menggunakan obat penginduksi kerusakan hati dan sebanyak 2 pasien (4%) tidak menggunakannya. Obat penginduksi yang paling banyak digunakan yaitu Ranitidin (31,3%), seftriakson (23,1%), dan parasetamol (16,4%). Tingkat penggunaan obat penginduksi kerusakan hati pada pasien penderita penyakit hati masih tergolong tinggi yaitu sebesar 96%. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh penggunaan obat penginduksi kerusakan hati terhadap fungsi hati.Kata kunci: Obat penginduksi kerusakan hati, penyakit hati, retrospektifAdministration of Drug Induce Liver Injury to the Inpatients with Liver DiseaseAbstractDrug induced liver injury is a serious human health problems. Pre-existing liver diseases are risk factorof liver injury by the drugs. The study was conducted to evaluate the use of drug induced liver injury in patients hospitalized with liver disease at one hospital in Kota Tasikmalaya. Informations were collected retrospectively in the period 2010-2011 from the patient’s medical record. A total of 52 patients research subjects were discovered 50 patients (96%) using drug induced liver injury and 2 patients (4%) did not use it. Drug induced liver injury most widely used were ranitidine (31.3%), ceftriaxone (23.1%), and paracetamol (16.4%). Level of the DILI usage in patient with liver disease was relative high (96%). Further research is needed to determine the effect of the drug induced liver injury to liver injury.Key words: Drug induced liver injury, liver disease, retrospective
An Urinary Excretion Profile of 500 mg Ascorbic Acid in Healthy Adults Mutakin Mutakin
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (563.069 KB)

Abstract

High doses of ascorbic acid have been commercially available as adjuvant. However, the pharmacologicalimportance of this supplement is yet questionable. The aim of this study is to investigate the 24 hours excretion profile of ascorbic acid after oral administration of 500 mg single dose in healthy volunteer. The urine samples were collected at 2, 4, 6, 8, and 24 hours after administration. The samples were extracted with trichloroacetic acid, followed by colorimetric measurement. The excretion profile showed a curve with concentrations of 14.4, 15.2, 15.6, 14.9, and 14.2% at 2, 4, 6, 8, and 24 hours, respectively. This suggests that 74.3% of ascorbic acid to be excreted via urine as an excessive amount and a high adjuvant dosage should be reconsidered.Key words: Ascorbic acid, oral administration, single dose, excretion profileProfil Ekskresi 500 mg Asam Askorbat dalam Saluran Urin pada Orang Dewasa SehatAbstrakAsam askorbat dosis tinggi telah tersedia secara komersil sebagai suplemen. Akan tetapi, kegunaan secara farmakologi pada suplemen ini masih dipertanyakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil ekskresi asam askorbat selama 24 jam setelah pemberian oral 500 mg dosis tunggal pada sukarelawan sehat. Sampel urin dikumpulkan pada jam ke-2, 4, 6, 8, dan 24 setelah pemberian. Sampel diekstraksi dengan asam trikloroasetat lalu diukur dengan metode kolorimetri. Profil ekskresi menunjukkan bahwa terbentuk kurva pada konsentrasi secara berurutan 14,4; 15,2; 15,6; 14.9; dan 14,2% pada jam ke-2, 3, 6, 8 dan 24. Hal ini menunjukkan bahwa 74,3% asam askorbat diekskresikan melalui urin dalam jumlah besar dan pemakaian dosis tinggi suplemen seharusnya dipertimbangkan.Kata kunci: Asam askorbat, pemberian oral, dosis tunggal, profil ekskresi
Ocular Insert: Dosage Form for Sustain Opthalmic Drug Delivery Sunil Kumar Thakral; Badri P. Nagori; Roshan Issarani; Munish Ahuja
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1167.891 KB)

Abstract

Except for skin, the eye is the most easily accessible site for topical administration of a medication. Traditional topical ophthalmic formulations (eye drops and ointments) have poor bioavailability because of rapid pre-corneal elimination, conjunctival absorption, solution drainage by gravity, induced lacrimation and normal tear turnover. This leads to frequent  installations of concentrated medication to achieve a therapeutic effect. The typical “pulse-entry” type drug release observed with ocular aqueous solutions (eye drops), suspensions and ointments can be replaced by more controlled, sustained, and continuous drug delivery, using a controlled-release ocular drug delivery system. Ocular inserts are solid or semisolid sterile preparations, of appropriate size and shape, designed to be inserted behind the eyelid or held on the eye and to deliver drugs for topical or systemic  effect. These are polymeric systems into which the drug is incorporated as a solution or dispersion. They are better tolerated as to drainage and tear flow compared with other ophthalmic formulation and produce reliable drug release in the conjunctival cul-de-sac.Key words: Eye, ocular inserts, films simulated tear fluid, cul-de-sac Penyisipan Okular: Sediaan untuk Penghantaran Obat Mata DiperlambatAbstrakMata adalah organ yang paling mudah dijangkau untuk pengobatan topikal selain kulit. Formulasi sediaan topikal tradisional untuk mata (tetes mata dan salep) memiliki ketersediaan hayati yang rendah karena cepat dieliminasi sebelum mencapai kornea, absorpsi konjungtiva, kekeringan cairan mata karena gravitasi, lakrimasi terinduksi, dan pergantian normal air mata. Hal ini mengarahkan pada penggunaan obat yang pekat secara berulang untuk menghasilkan efek terapi. Tipe obat pulse-entry seperti tetes mata, suspensi, dan salep dapat digantikan dengan penghantaran obat yang lebih terkontrol, diperlambat, dan berkelanjutan menggunakan sistem penghantaran obat okular yang pengeluarannya dikontrol. Sediaan penyisipan okular merupakan sediaan steril berbentuk solid dan semisolid, dengan ukuran dan bentuk yang sesuai, serta didesain untuk dapat disisipkan di belakang kelopak mata atau diletakkan di atas mata untuk menghantarkan efek obat secara topikal atau sistemik. Sediaan ini  merupakan sistem polimer yang tidak larut atau terdispersi. Sediaan ini lebih baik dalam hal pengeringan dan aliran air mata dibandingkan formulasi sediaan mata yang lain dan menghasilkan pengeluaran obat yang reliabel pada konjungtiva kuldesak.Kata kunci: Mata, penyisipan okular, simulasi cairan air mata film, kuldesak

Page 1 of 1 | Total Record : 10